TUMPEK UDUH, WUJUD KEHARMONISAN MANUSIA DENGAN LINGKUNGAN

Agama Hindu di Bali memiliki banyak upacara keagamaan, bukan hanya upacara atau yadnya ditujukan kepada Tuhan, tetapi juga kepada guru-guru suici, manusia, hewan dan juga tumbuh-tumbuhan yang semua berdasarkan konsep tri Hita Kirana. “Tri Hita Karana” adalah tiga penyebab kebahagiaan, kedamaian, dan keharmonisan. Pertama “Parahyangan” yang merupakan hubungan baik manusia dengan Tuhan, kedua “Pawongan” yang merupakan hubungan baik manusia dengan manusia, ketiga “Palemahan” yaitu hubungan baik manusia dengan lingkungannya. Tiga komponen tersebut kita sadari memegang peranan penting dan memiliki andil dalam keberlangsungan kehidupan di dunia ini khususnya di Pulau  Dewata ini.

Dalam hal ini mari kita bahas sedikit tentang “palemahan” yaitu lingkungan tempat tinggal kita. Salah satu bagian dari lingkungan adalah tumbuh-tumbuhan. Mahluk hidup ini sudah memberikan kita banyak manfaat seperti sebagai sumber makanan, kayu-kayu sebagai bahan bangunan, pepohonan yang menjaga daerah resapan air, dan sebagainya. Perayaan “Tumpek Uduh” ini mengajarkan kita, tidak hanya berhenti pada pemanfaatannya saja, orang Bali yang pada kesehariannya selalu banyak bersyukur atas apa yang diterima, memberikan cinta kasih dan penghormatannya terhadap tumbuh- tumbuhan. Hal ini salah satunya dapat diwujudkan melalui upacara tumpek Wariga atau tumpek Uduh.

Tumpek Uye  jatuh pada Saniscara Kliwon Wariga, disebut hari inti. Dipercaya pada hari tersebut Tuhan memberikan anugerah kepada umat manusia di dunia. Tumpek Uye ini juga disebut Tumpek Wariga, Tumpek Bubuh atau Pengatag, dirayakan setiap 6 bulan sekali di hari Saniscara (Sabtu) Kliwon, wuku Wariga, tepat 25 hari sebelum Hari Raya Galungan. Disebut “Tumpek Bubuh” karena sesajen atau dalam agama hindu umum disebut banten yang dihaturkan pada perayaan tersebut dilengkapi dengan “bubuh sumsum” (bubur yang terbuat dari tepung beras dan diwarnai dengan daun suji). “Bubuh sumsum” ini merupakan sebuah lambang kesuburan dengan harapan tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur dan cepat berbuah

Pemujaan pada Tumpek Uduh adalah persembahan kepada manifestasi Tuhan sebagai Dewa Sangkara penguasa Tumbuh-tumbuhan.

Tumpek Wariga juga dikenal sebagai Tumpek Pengarah di mana dalam rainan ini umat Hindu mepengarah atau dalam bahasa Indonesianya memberitahu kepada tumbuh-tumbuhan.  Kata yang biasa diucapkan ketika upacara adalah  “Dadong dadong, I Kaki kije ?. Kaki Gelem. Gelem kenken ?. Gelem kebus dingin ngetor ngeed…ngeed..ngeed… Apang nged mabuah apang ade anggon ngegalung buin selae lemeng”  yang kalau diartikan sebagai berikut “Nenek, nenek, kakek di mana? Kakek sakit. Sakit kenapa? Sakit demam. Lebat…lebat…lebat. Biar bisa bisa untuk galungan tinggal dua puluh lima hari lagi”. Hal ini diucapkan sembari tanagan kanannya memberi sedikit luka pada batang pohon dengan pisau sembari mengoleskan bubur sumsum pada batang pohon.

Selain itu Perayaan Upacara Tumpek Uduh juga menjadi salah satu cara menjaga kearifan lokal Bali. Dengan demikian tradisi dan Budaya Bali yang sudah diwariskan oleh leluhur dapat terus terlaksana. Hal ini juga diperkuat dengan instruksi Gubernur Bali No. 6 Tahun 2022 tentang perayaan tumpek Wariga dengan upacara Wana Kerthi sebagai pelaksanaan tata titi kehidupan masyarakat Bali berdasarkan nilai nilai kearifan lokal Sat Kerthi dalam Bali Era Baru, dilaksanakan secara niskala dan kegiatan secara sekala. Kegiatan sekala perayaan Tumpek Wariga dalam tatanan kehidupan masyarakat Bali melalui kearifan lokal Sat Kerthi Loka Bali, telah dilaksanakan penanaman bibit pohon kelapa, pohon pinang, pohon nagasari dan jenis tanaman untuk kelengkapan upacara keagamaan serangkaian perayaan hari/rahinan Tumpek Wariga/Uduh/Bubuh/Pengatag.

Namun dibalik itu semua makna dan esensi terpenting dan makna dari perayaan Tumpek Uduh adalah rasa terima kasih yang sangat dalam terhadap kekayaan alam yang melimpah ruah. Semua puja dan puji dilantunkan para pendeta, pemangku atau pemimpin upacara penuh dengan intisari terima kasih terhadap alam. Sungguh mulia